Everythings'Clopedia

Senin, 17 Juni 2013

Jokowi vs SBY dari Segi Sistem Politik Pemerintahan

S
ISTEM POLITIK PEMERINTAHAN JOKOWI  
Jokowi dan Ahok barangkali salah satu contoh bagi para partai politik untuk mulai meneliti kembali kebijaksanaan mereka dalam menunjuk wakil-wakil mereka yang akan duduk dalam pemerintahan. Jokowi sebelum menjadi Walikota adalah seorang pelaku bisnis dan hampirbisa dikatakan tidak pernah terjun di politik praktis. Pengalaman politiknya hampir tidak punya, demikian aku Jokowi. Demikian juga Ahok. Meski ia lebih punya dasar pengalaman politik dibanding Jokowi, namun punya pendekatan sama dengan Jokowi. Ahok adalah seorang pelaku bisnis sebelum terjun ke
dunia politik. Keuntungan penunjukkan tenaga profesional yang suka terjun  ke lapangan dan memihak rakyat dalam banyak hal akan menguntungkan masyarakat dan memperbaiki image partai politik yang bersangkutan.


Tenaga profesional memang lebih dibutuhkan saat ini di Indonesia terutama setelah saat ini kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, politik dan hukum kini silang sengkarut. Tenaga praktisi teknis lebih dibutuhkan daripada tenaga yang diambil karena perhitungan pengalaman politik. Silang sengkarutnya masalah di Indonesia apakah karena kurangnya tenaga teknis profesional yang duduk di lembaga pemerintahan perlu penelitian tersendiri. Perekrutan tenaga profesional dalam kedudukan kedudukan eksekutif lebih masuk akal meskipun mereka biasanya tidak punya pengalaman politik.

Tenaga profesional yang memihak rakyat tidak akan melulu bekerja demikepentingan partai politik yang menunjuknya tapi juga lebih cenderung memikirkan keuntungan rakyat banyak dan perbaikan sistem itu sendiri. Tenaga profesional di lapangan ini nampaknya jarang dilibatkan dalam
diskusi-diskusi politik. Mungkin saja bagi tenaga profesional diskusi politik tersebut kurang menarik.
Adakah hubungan antara kemajuan sebuah negara secara umum dengan latar belakang pemegang utama pelaku politik sebuah negara? Amerika yang negaranya maju dalam banyak bidang, pelaku politik lebih banyak yang berlatar-belakang pendidikan hukum. Barack Obama adalah lulusan hukum. Demikian juga orang-orang yang duduk di kabinetnya mayoritas berlatar belakang dari disiplin ilmu hukum.

Di Indonesia

Di negara-negara yang kurang maju pembangunan ekonominya, kekuasaan dan pelaku politik utama sering dipegang oleh pelaku dengan latar belakang militer. Indonesia salah satu contoh dalam hal ini. Puncak kekuasaan pernah dipegang oleh pemimpin sipil dengan latar belakang bukan militer ternyata
tidak berumur panjang.

Pelaku-pelaku politik di Indonesia saat ini sepertinya banyak dari latar belakang hukum. Di Youtube banyak diupload diskusi-diskusi politik yang diselenggarakan oleh TVOne dalam acara Indonesia Lawyers Club. Kalau saja indikator ini cukup syah bila penulis gunakan sebagai gambaran umum. Tentu saja secara pastinya perlu penelitian lebih dalam. Sepertinya kita mencontoh keadaan di Amerika. Padahal keadaan di Indonesia dan Amerika amat jauh bedanya. Kesadaran hukum rakyat masih rendah, kekuatan sistem hukum di Indonesia masih amburadul, kehidupan demokrasi masih dalam taraf suka ria, keadilan masih memihak pada yang punya uang dan lain-lain. Tidak heran bila justru para profesional hukum itu malah mengobrak-abrik kehidupan hukum yang ada. Saat ini pelaku politik yang kelihatan berhasil dalam memimpin lembaganya adalah orang-orang dari kalangan profesional yang matang dalam kehidupan berbisnis dan pengelolaan system managerialnya. Contoh yang paling kentara adalah Dahlan Iskan, Jokowi dan Ahok. Mungkin bisa ditambahkan oleh pembaca yang lebih tahu dengan latar belakang para pelaku politik Indonesia lainnya. Penulis hanya mengacu pada kecenderungan populer saat ini di Indonesia.

Gaya kepemimpian Jokowi dan Ahok adalah fenomena yang amat menarik terjadi di Indonesia saat ini. Jokowi dan Ahok lebih mengutamakan bagaimana memperbaiki ethos kerja dan managemen  system di lingkungan kerjanya dengan pendekatan praktis, humanis dan menyaring informasi langsung dari kalangan terbawah. Sebuah pendekatan yang membedakan dari pelakupelaku politik lain yang duduk dalam pemerintahan sebelumnya. Sebuah pendekatan praktis di lapangan memang sering berlawanan dengan apa yang dianalisa secara teori yang kadang bertumpang tindih karena
pendekatan multidisiplin yang digunakan. Pendekatan langsung di lapangan lebih memungkinkan untuk membuat sebuah keputusan dengan cepat dan masuk akal. Pendekatan langsung di lapangan juga sebagai jalan pintas dan terobosan atas kebijaksanaan yang berdasar ilmu multidisiplin yang dilematis dan kadang menemukan jalan buntu. Akhirnya tidak jarang terjadi pemaksaan pendekatan teori ke lapangan. Akibatnya hasil yang diperoleh tidak seperti yang diharapkan. Pendekatan Jokowi dan Ahok yang langsung ke lapangan berkemungkinan besar untuk menampung segala permasalahan dari berbagai sudut sekaligus tanpa analisa teori yang muluk-muluk. Fenomena Jokowi dan Ahok Jokowi saat menjabat Walikota Solo pernah bercerita dalam sebuah wawancara yang dilakukan di TV tentang pemindahan penduduk di sekitar bantaran sungai di Solo. Jokowi mendatangi penduduk tersebut untuk berdialog langsung hingga 24 kali sebelum akhirnya penduduk di bantaran tersebut bersedia pindah. Jokowi amat anti dengan asal main gusur yang menurutnya tidak manusiawi, tidak mau kerja keras dan main gampangan. Untuk kasus berikutnya, Jokowi hanya perlu mengadakan dialog Cuma sebanyak tiga kali dengan penduduk dan mereka bersedia pindah ke lokasi
baru. Penduduk dari kalangan terpinggirkan tersebut kalau kita lihat dalam sejarah, sebenarnya amat mematuhi apa yang diperintahkan oleh atasannya asal saja atasan tersebut bisa merebut hati mereka. Kalau hati mereka telah terebut, pengorbanan mereka kadang tidak tanggung-tanggung. Lihat saja prestasi Presiden Soekarno, Jendral Soedirman, Mahatma Gandhi dan tokoh yang memihak rakyat lainnya. Mereka adalah contoh para pemimpin yang berhasil merebut hati rakyat. Jokowi dan Ahok sepertinya juga mencoba pendekatan ini. Tidak berusaha menguasai kepala rakyatnya tapi lebih menukik ke manusianya dengan merebut hatinya. Keberhasilan dalam merebut hati rakyat itulah yang membuat karier Jokowi dan Ahok sukses. Jokowi dan Ahok tidak perlu keluar banyak uang dalam
kampanye politiknya. Hati rakyat yang telah terebut akan memberi dukungan kepercayaan tanpa ragu-ragu. Jokowi sendiri sempat mengakui bahwa terpilihnya dia sebagai Walikota adalah sebuah kecelakaan. Karena modal yang dipakai hanyalah kepercayaan dari rakyat. Demikian juga kasusnya dengan Ahok. Dalam kampanye pemilihan Bupati Belitung dia hanya bermodal gantungan kunci dan nomer telpon hp pribadinya buat rakyat pendukungnya. Fenomena inilah yang kurang disadari oleh pelaku-pelaku politik selama ini. Mereka menggunakan pendekatan dengan menguasai kepala dengan
iming-iming rasionil yang bisa dihitung atau kalau gagal bisa dengan ancaman. Politik uang, main sogok, main beli suara, menakut-nakuti, main kuasa, main gertak dan sebagainya adalah contoh akrab yang sering kita dengar. Sebuah metode yang digunakan sejak lama di Indonesia sejak jaman
Belanda. Rakyat adalah kawula yang gampang ditakut-takuti supaya nurut perintah.

Maka tidak heran jika pendekatan Jokowi dan Ahok sering memancing kritik dari golongan orang-orang mapan yang terbiasa dengan cara kerja system feodal. Namun pendekatan Jokowi Ahok yang langsung dengan mengadakan dialog ke lapangan lebih efektif dalam menangkis kritik meski dari berbagai penjuru. Tudingan miring selalu bisa dimentahkan dengan bukti-bukti konkrit sederhana di lapangan. Cara berpikir praktis, sederhana dan faktuil. Tidak heran pula para kalangan mapan tersebut akhirnya kehabisan peluru untuk mengkritik. Mereka merasa keteter dan kepepet. Maka kritik yang
dilontarkan makin terkesan asbun, mengada-ada, tidak masuk akal dan tidak populer - terkesan bertujuan hanya untuk membela atau mendongkrak popularitas partai politiknya. Salah satunya contohnya adalah dengan mengangkat isu SARA atau tanpa menawarkan pilihan alternatif yang
bermanfaat bagi rakyat banyak. Mereka tidak sadar bahwa rakyat terutama yang hidup di perkotaan, kini makin kritis dan berangsur meninggalkan sistem dunia feodalisme. Sebenarnya fenomena Jokowi Ahok ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kaum pelaku politik. Mereka harus mengoreksi pendekatan bias mereka dalam menentukan kandidat pemegang kekuasan eksekutifnya. Untuk Indonesia saat ini perlu orang-orang yang punya kemampuan teknis dan mau kerja keras dengan terjun langsung ke lapangan daripada orang yang berpengalaman di bidang politik dan mendekati rakyat hanya dengan kemampuan retorika. Kandidat yang dicintai rakyat dengan sendirinya akan
menambah pamor partai politiknya. Sehingga suatu saat pendekatan politik uang bisa benar-benar ditinggalkan dalam usaha merebut jumlah pilihan
suara rakyat.*** (sumber kompas.com)

P
rogram kabinet SBY-JK pun tidak melepaskan diri dari agenda-agenda yang telah dicanangkan oleh IMF. Pengurangan subsidi terhadap BBM dan program privatisasi terus berlangsung, merupakan ujud bagaimana kebijakan ekonomi-politik SBY-JK lebih berorientasi pada pasar. Apa yang dicermati Robert Wade bahwa agenda rezimWashington Consensus yakni pemikiran bahwa seluruh pemerintahan harus melakukan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi, terus berlangsung selama pemerintahan SBY-JK. Boediono, Menko Perekonomian kabinet SBY-JK juga meyakni bahwa demokrasi hanya bisa berkembang dalam situasi ekonomi yang baik—yang dalam bahasanya—dengan menyitir Fukuyama bahwa, “demokrasi akan bersemi pada tingkat hidup lebih tinggi dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi”.

Artinya pertumbuhan ekonomi merupakan prioritas utama dibandingkan dengan demokrasi, karena pertumbuhan ekonomi dan demokrasi merupakan hubungan sebab-akibat. Kerangka Washington Consensus lewat IMF dan prioritas pertumbuhan ekonomi semakin mendorong SBY-JK berpaling pada mekanisme pasar sebagai jalan terbaik, namun dengan tetap menggunakan jargon ekonomi kerakyatan dalam diskursus politik.

Banyaknya privatisasi dan produk perundangan yang merujuk pada Letter of Intent, merupakan indikator bahwa terjadi defisit dan pengurangan fungsi negara sosial. Fungsi negara sosial adalah fungsi negara untuk melakukan intervensi dalam hal menjamin suatu keadaan sosial yang adil dan merata. Wilayah ekonomi merupakan wilayah yang menjadi sasaran utama dari suatu negara dalam menjalankan fungsi sosialnya. Pada masa pemerintahan-pemerintahan pasca Soeharto, termasuk SBY-JK, fungsi negara sosial tidak lagi hadir, ini bisa dilihat dari maraknya kerusuhan sosial, di mana aparat negara ikut terlibat di dalamnya, tekanan IMF yang mendorong privatisasi dan deregulasi, dan mendorong perekonomian menjadi lebih liberal, dan secara internal konsolidasi demokrasi terhambat oleh persoalan seperti peran militer yang masih kuat, munculnya organisasi paramiliter, peradilan yang tidak independen, serta munculnya organisasi Islam radikal seperti Jamaah Islamiyah.

Privatisasi sebagai agenda utama yang dijalankan oleh pemerintahan-pemerintahan pasca reformasi terus berjalan sebagaimana persetujuan LoI. Pada tahun 2007, Wapres Jusuf Kalla mengemukakan bahwa dari 135 BUMN yang dimiliki pemerintah, jumlahnya akan diciutkan menjadi 69 di tahun 2009, dan 25 BUMN pada tahun 2015.[20] Artinya, sebagian besar BUMN itu bakal dijual ke pihak swasta/asing. Salah satu persoalan utama yang akan muncul adalah akses masyarakat terhadap sejumlah fasilitas akan semakin berkurang karena fluktuasi harga yang bergantung pada pasar, sehingga kemungkinan kemampuan daya beli menurun sangat besar. Misalkan pada sektor transportasi yang biaya operasional untuk penjaminan keamanan (safety) sangat besar, dan pihak swasta tidak akan menempatkannya sebagai prioritas demi melakukan penghematan dan surplus keuntungan yang besar.

Demikian juga dengan bidang yang berkaitan dengan kebutuhan hidup semua orang, seperti: air, listrik, dan hutan. Privatisasi akan mendorong pada upaya untuk memproduksi sebanyak-banyaknya, agar keuntungan terus berjalan, dengan bertumpu pada hukum penawaran dan permintaan pasar. Argumen Marx adalah, jika produksi tidak bisa lagi dikonsumsi, maka akan terjadi kelebihan produksi, yang menjadi titik berangkat terjadinya krisis. Juga karena nilai uang yang dijadikan patokan akan selalu berubah, maka krisis pun bisa dimulai dari sini. Model kapitalisme keuangan (finance capitalism) merupakan salah satu penyebab utama krisis ekonomi dunia di tahun 2008, yang dalam analisa Susan Strange, kesalahan manajemen dalam pengaturan keuangan dan kredit merupakan hal yang jauh lebih berbahaya ketimbang proteksionisme dalam kebijakan perdagangan.

Model kontrol negara terhadap perekonomian, diharapkan bisa melakukan kontrol terhadap produksi barang dan harga agar tidak menghambat/mengurangi akses masyarakat secara umum. Bahaya dari krisis ekonomi yang parah adalah potensi disintegrasi sosial, yang akibat-akibatnya tidak bisa ditanggung dan ditanggulangi oleh pasar. Apa yang terjadi di Argentina beberapa tahun lalu telah memberikan sinyal tanda bahaya tersebut. Ketidakmampuan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga dalam pasar muncul dalam era SBY-JK, dan cara yang diambil rezim SBY-JK adalah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), sebagai cara agar masyarakat dapat mengkonsumsi barang. Tindakan ini tentu saja konyol dan berbahaya, karena negara pasti sulit untuk terus-menerus menyediakan uang tunai demi menjaga tingkat konsumsi masyarakat miskin, namun sistem pasar juga tidak memungkinkan negara untuk melakukan intervensi terhadap harga secara signifikan, sehingga harga barang menjadi terjangkau. Di titik ini, maka diperlukan fungsi negara sosial, baik dalam hal menyediakan barang publik maupun mengontrol harga, agar kebutuhan masyarakat secara luas dapat dicukupi.
Dalam melihat krisis global — yang akibatnya juga menghantam Indonesia — terutama di masa pemerintahan SBY-JK, menjadi penting untuk menoleh pada kritik kalangan Marxian terhadap kapitalisme global. Alex Callinicos memandang bahwa kritik ekonomi-politik Marx perlu untuk dilanjutkan sambil sekaligus dipertanyakan secara kritis, karena relevansi kritik Marx bisa dilihat pada munculnya berbagai krisis ekonomi dunia, terutama semenjak fundamentalisme pasar dipaksakan berlaku secara mondial.

 Pada bagian lain, Gerald A. Cohen melihat bahwa dalam bisnis, seseorang memberlakukan orang lain berdasarkan tata-aturan atau norma yang berlaku dalam pasar, yakni norma yang menyebutkan bahwa seseorang bisa diberhentikan jika ia tidak bisa memproduksi barang pada suatu ukuran yang memuaskan keinginan pasar. Artinya, norma ini memang berhasil dalam hal mempromosikan “efisiensi”, namun pada saat yang sama norma itu merampas kemanusiaan.
Artinya, perilaku seperti ini tidak bisa diterapkan kepada negara yang harus memberlakukan semua warganya secara sama.


Dalam hal ini negara bisa memiliki otonomi relatif, artinya bukan semata-mata sebagai penjaga mekanisme pasar, melainkan secara relatif bisa mengintervensi pasar sekiranya muncul ancaman sosial dari terjadinya disekuilibrium pasar, dan tidak mengintervensi pasar secara berlebihan, atau secara total. Namun otonomi-relatif di sini bukan dalam artian yang banyak terjadi pada negara-negara otoriter, melainkan otonomi-relatif yang berpijak pada nilai demokrasi. Otonomi-relatif negara diterapkan untuk mendukung fungsi sosialnya dalam menjaga integrasi sosial dan keberlangsungan kehidupan sosial dan ekonomi dari setiap warganegara. (sumber kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar