S
|
ISTEM
POLITIK PEMERINTAHAN JOKOWI
Jokowi dan Ahok
barangkali salah satu contoh bagi para partai politik untuk mulai meneliti
kembali kebijaksanaan mereka dalam menunjuk wakil-wakil mereka yang akan duduk
dalam pemerintahan. Jokowi sebelum menjadi Walikota adalah seorang pelaku
bisnis dan hampirbisa dikatakan tidak pernah terjun di politik praktis.
Pengalaman politiknya hampir tidak punya, demikian aku Jokowi. Demikian juga
Ahok. Meski ia lebih punya dasar pengalaman politik dibanding Jokowi, namun
punya pendekatan sama dengan Jokowi. Ahok adalah seorang pelaku bisnis sebelum
terjun ke
dunia politik.
Keuntungan penunjukkan tenaga profesional yang suka terjun ke lapangan dan memihak rakyat dalam banyak
hal akan menguntungkan masyarakat dan memperbaiki image partai politik yang
bersangkutan.
Tenaga profesional
memang lebih dibutuhkan saat ini di Indonesia terutama setelah saat ini
kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, politik dan hukum kini silang sengkarut.
Tenaga praktisi teknis lebih dibutuhkan daripada tenaga yang diambil karena
perhitungan pengalaman politik. Silang sengkarutnya masalah di Indonesia apakah
karena kurangnya tenaga teknis profesional yang duduk di lembaga pemerintahan
perlu penelitian tersendiri. Perekrutan tenaga profesional dalam kedudukan kedudukan
eksekutif lebih masuk akal meskipun mereka biasanya tidak punya pengalaman
politik.
Tenaga profesional
yang memihak rakyat tidak akan melulu bekerja demikepentingan partai politik
yang menunjuknya tapi juga lebih cenderung memikirkan keuntungan rakyat banyak
dan perbaikan sistem itu sendiri. Tenaga profesional di lapangan ini nampaknya
jarang dilibatkan dalam
diskusi-diskusi
politik. Mungkin saja bagi tenaga profesional diskusi politik tersebut kurang
menarik.
Adakah hubungan
antara kemajuan sebuah negara secara umum dengan latar belakang pemegang utama
pelaku politik sebuah negara? Amerika yang negaranya maju dalam banyak bidang,
pelaku politik lebih banyak yang berlatar-belakang pendidikan hukum. Barack
Obama adalah lulusan hukum. Demikian juga orang-orang yang duduk di kabinetnya
mayoritas berlatar belakang dari disiplin ilmu hukum.
Di Indonesia
Di negara-negara yang
kurang maju pembangunan ekonominya, kekuasaan dan pelaku politik utama sering
dipegang oleh pelaku dengan latar belakang militer. Indonesia salah satu contoh
dalam hal ini. Puncak kekuasaan pernah dipegang oleh pemimpin sipil dengan
latar belakang bukan militer ternyata
tidak berumur
panjang.
Pelaku-pelaku politik
di Indonesia saat ini sepertinya banyak dari latar belakang hukum. Di Youtube banyak
diupload diskusi-diskusi politik yang diselenggarakan oleh TVOne dalam acara
Indonesia Lawyers Club. Kalau saja indikator ini cukup syah bila penulis
gunakan sebagai gambaran umum. Tentu saja secara pastinya perlu penelitian
lebih dalam. Sepertinya kita mencontoh keadaan di Amerika. Padahal keadaan di Indonesia
dan Amerika amat jauh bedanya. Kesadaran hukum rakyat masih rendah, kekuatan
sistem hukum di Indonesia masih amburadul, kehidupan demokrasi masih dalam
taraf suka ria, keadilan masih memihak pada yang punya uang dan lain-lain.
Tidak heran bila justru para profesional hukum itu malah mengobrak-abrik
kehidupan hukum yang ada. Saat ini pelaku politik yang kelihatan berhasil dalam
memimpin lembaganya adalah orang-orang dari kalangan profesional yang matang
dalam kehidupan berbisnis dan pengelolaan system managerialnya. Contoh yang
paling kentara adalah Dahlan Iskan, Jokowi dan Ahok. Mungkin bisa ditambahkan oleh
pembaca yang lebih tahu dengan latar belakang para pelaku politik Indonesia
lainnya. Penulis hanya mengacu pada kecenderungan populer saat ini di
Indonesia.
Gaya kepemimpian
Jokowi dan Ahok adalah fenomena yang amat menarik terjadi di Indonesia saat ini.
Jokowi dan Ahok lebih mengutamakan bagaimana memperbaiki ethos kerja dan
managemen system di lingkungan kerjanya dengan
pendekatan praktis, humanis dan menyaring informasi langsung dari kalangan
terbawah. Sebuah pendekatan yang membedakan dari pelakupelaku politik lain yang
duduk dalam pemerintahan sebelumnya. Sebuah pendekatan praktis di lapangan
memang sering berlawanan dengan apa yang dianalisa secara teori yang kadang
bertumpang tindih karena
pendekatan
multidisiplin yang digunakan. Pendekatan langsung di lapangan lebih
memungkinkan untuk membuat sebuah keputusan dengan cepat dan masuk akal.
Pendekatan langsung di lapangan juga sebagai jalan pintas dan terobosan atas
kebijaksanaan yang berdasar ilmu multidisiplin yang dilematis dan kadang
menemukan jalan buntu. Akhirnya tidak jarang terjadi pemaksaan pendekatan teori
ke lapangan. Akibatnya hasil yang diperoleh tidak seperti yang diharapkan. Pendekatan
Jokowi dan Ahok yang langsung ke lapangan berkemungkinan besar untuk menampung
segala permasalahan dari berbagai sudut sekaligus tanpa analisa teori yang
muluk-muluk. Fenomena Jokowi dan Ahok Jokowi saat menjabat Walikota Solo pernah
bercerita dalam sebuah wawancara yang dilakukan di TV tentang pemindahan
penduduk di sekitar bantaran sungai di Solo. Jokowi mendatangi penduduk
tersebut untuk berdialog langsung hingga 24 kali sebelum akhirnya penduduk di
bantaran tersebut bersedia pindah. Jokowi amat anti dengan asal main gusur yang
menurutnya tidak manusiawi, tidak mau kerja keras dan main gampangan. Untuk
kasus berikutnya, Jokowi hanya perlu mengadakan dialog Cuma sebanyak tiga kali
dengan penduduk dan mereka bersedia pindah ke lokasi
baru. Penduduk dari
kalangan terpinggirkan tersebut kalau kita lihat dalam sejarah, sebenarnya amat
mematuhi apa yang diperintahkan oleh atasannya asal saja atasan tersebut bisa
merebut hati mereka. Kalau hati mereka telah terebut, pengorbanan mereka kadang
tidak tanggung-tanggung. Lihat saja prestasi Presiden Soekarno, Jendral
Soedirman, Mahatma Gandhi dan tokoh yang memihak rakyat lainnya. Mereka adalah
contoh para pemimpin yang berhasil merebut hati rakyat. Jokowi dan Ahok
sepertinya juga mencoba pendekatan ini. Tidak berusaha menguasai kepala
rakyatnya tapi lebih menukik ke manusianya dengan merebut hatinya. Keberhasilan
dalam merebut hati rakyat itulah yang membuat karier Jokowi dan Ahok sukses.
Jokowi dan Ahok tidak perlu keluar banyak uang dalam
kampanye politiknya.
Hati rakyat yang telah terebut akan memberi dukungan kepercayaan tanpa
ragu-ragu. Jokowi sendiri sempat mengakui bahwa terpilihnya dia sebagai
Walikota adalah sebuah kecelakaan. Karena modal yang dipakai hanyalah
kepercayaan dari rakyat. Demikian juga kasusnya dengan Ahok. Dalam kampanye
pemilihan Bupati Belitung dia hanya bermodal gantungan kunci dan nomer telpon
hp pribadinya buat rakyat pendukungnya. Fenomena inilah yang kurang disadari
oleh pelaku-pelaku politik selama ini. Mereka menggunakan pendekatan dengan
menguasai kepala dengan
iming-iming rasionil
yang bisa dihitung atau kalau gagal bisa dengan ancaman. Politik uang, main
sogok, main beli suara, menakut-nakuti, main kuasa, main gertak dan sebagainya
adalah contoh akrab yang sering kita dengar. Sebuah metode yang digunakan sejak
lama di Indonesia sejak jaman
Belanda. Rakyat
adalah kawula yang gampang ditakut-takuti supaya nurut perintah.
Maka tidak heran jika
pendekatan Jokowi dan Ahok sering memancing kritik dari golongan orang-orang
mapan yang terbiasa dengan cara kerja system feodal. Namun pendekatan Jokowi
Ahok yang langsung dengan mengadakan dialog ke lapangan lebih efektif dalam
menangkis kritik meski dari berbagai penjuru. Tudingan miring selalu bisa
dimentahkan dengan bukti-bukti konkrit sederhana di lapangan. Cara berpikir
praktis, sederhana dan faktuil. Tidak heran pula para kalangan mapan tersebut
akhirnya kehabisan peluru untuk mengkritik. Mereka merasa keteter dan kepepet.
Maka kritik yang
dilontarkan makin
terkesan asbun, mengada-ada, tidak masuk akal dan tidak populer - terkesan
bertujuan hanya untuk membela atau mendongkrak popularitas partai politiknya.
Salah satunya contohnya adalah dengan mengangkat isu SARA atau tanpa menawarkan
pilihan alternatif yang
bermanfaat bagi
rakyat banyak. Mereka tidak sadar bahwa rakyat terutama yang hidup di
perkotaan, kini makin kritis dan berangsur meninggalkan sistem dunia
feodalisme. Sebenarnya fenomena Jokowi Ahok ini bisa menjadi pelajaran berharga
bagi kaum pelaku politik. Mereka harus mengoreksi pendekatan bias mereka dalam
menentukan kandidat pemegang kekuasan eksekutifnya. Untuk Indonesia saat ini
perlu orang-orang yang punya kemampuan teknis dan mau kerja keras dengan terjun
langsung ke lapangan daripada orang yang berpengalaman di bidang politik dan
mendekati rakyat hanya dengan kemampuan retorika. Kandidat yang dicintai rakyat
dengan sendirinya akan
menambah pamor partai
politiknya. Sehingga suatu saat pendekatan politik uang bisa benar-benar
ditinggalkan dalam usaha merebut jumlah pilihan
suara rakyat.***
(sumber kompas.com)
P
|
rogram kabinet SBY-JK
pun tidak melepaskan diri dari agenda-agenda yang telah dicanangkan oleh IMF.
Pengurangan subsidi terhadap BBM dan program privatisasi terus berlangsung,
merupakan ujud bagaimana kebijakan ekonomi-politik SBY-JK lebih berorientasi pada
pasar. Apa yang dicermati Robert Wade bahwa agenda rezimWashington Consensus yakni pemikiran bahwa seluruh
pemerintahan harus melakukan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi, terus
berlangsung selama pemerintahan SBY-JK. Boediono, Menko Perekonomian kabinet
SBY-JK juga meyakni bahwa demokrasi hanya bisa berkembang dalam situasi ekonomi
yang baik—yang dalam bahasanya—dengan menyitir Fukuyama bahwa, “demokrasi akan
bersemi pada tingkat hidup lebih tinggi dan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi”.
Artinya pertumbuhan
ekonomi merupakan prioritas utama dibandingkan dengan demokrasi, karena
pertumbuhan ekonomi dan demokrasi merupakan hubungan sebab-akibat. Kerangka Washington Consensus lewat IMF dan prioritas pertumbuhan
ekonomi semakin mendorong SBY-JK berpaling pada mekanisme pasar sebagai jalan
terbaik, namun dengan tetap menggunakan jargon ekonomi kerakyatan dalam
diskursus politik.
Banyaknya privatisasi
dan produk perundangan yang merujuk pada Letter of Intent, merupakan indikator bahwa terjadi
defisit dan pengurangan fungsi negara sosial. Fungsi negara sosial adalah
fungsi negara untuk melakukan intervensi dalam hal menjamin suatu keadaan
sosial yang adil dan merata. Wilayah ekonomi merupakan wilayah yang menjadi
sasaran utama dari suatu negara dalam menjalankan fungsi sosialnya. Pada masa
pemerintahan-pemerintahan pasca Soeharto, termasuk SBY-JK, fungsi negara sosial
tidak lagi hadir, ini bisa dilihat dari maraknya kerusuhan sosial, di mana
aparat negara ikut terlibat di dalamnya, tekanan IMF yang mendorong privatisasi
dan deregulasi, dan mendorong perekonomian menjadi lebih liberal, dan secara
internal konsolidasi demokrasi terhambat oleh persoalan seperti peran militer
yang masih kuat, munculnya organisasi paramiliter, peradilan yang tidak
independen, serta munculnya organisasi Islam radikal seperti Jamaah Islamiyah.
Privatisasi sebagai
agenda utama yang dijalankan oleh pemerintahan-pemerintahan pasca reformasi
terus berjalan sebagaimana persetujuan LoI. Pada tahun 2007, Wapres Jusuf Kalla
mengemukakan bahwa dari 135 BUMN yang dimiliki pemerintah, jumlahnya akan
diciutkan menjadi 69 di tahun 2009, dan 25 BUMN pada tahun 2015.[20] Artinya,
sebagian besar BUMN itu bakal dijual ke pihak swasta/asing. Salah satu
persoalan utama yang akan muncul adalah akses masyarakat terhadap sejumlah
fasilitas akan semakin berkurang karena fluktuasi harga yang bergantung pada
pasar, sehingga kemungkinan kemampuan daya beli menurun sangat besar. Misalkan
pada sektor transportasi yang biaya operasional untuk penjaminan keamanan (safety) sangat besar, dan pihak swasta tidak akan
menempatkannya sebagai prioritas demi melakukan penghematan dan surplus
keuntungan yang besar.
Demikian juga dengan
bidang yang berkaitan dengan kebutuhan hidup semua orang, seperti: air,
listrik, dan hutan. Privatisasi akan mendorong pada upaya untuk memproduksi
sebanyak-banyaknya, agar keuntungan terus berjalan, dengan bertumpu pada hukum
penawaran dan permintaan pasar. Argumen Marx adalah, jika produksi tidak bisa
lagi dikonsumsi, maka akan terjadi kelebihan produksi, yang menjadi titik
berangkat terjadinya krisis. Juga karena nilai uang yang dijadikan patokan akan
selalu berubah, maka krisis pun bisa dimulai dari sini. Model kapitalisme
keuangan (finance capitalism) merupakan salah satu penyebab
utama krisis ekonomi dunia di tahun 2008, yang dalam analisa Susan Strange,
kesalahan manajemen dalam pengaturan keuangan dan kredit merupakan hal yang
jauh lebih berbahaya ketimbang proteksionisme dalam kebijakan perdagangan.
Model kontrol negara terhadap perekonomian, diharapkan
bisa melakukan kontrol terhadap produksi barang dan harga agar tidak
menghambat/mengurangi akses masyarakat secara umum. Bahaya dari krisis ekonomi
yang parah adalah potensi disintegrasi sosial, yang akibat-akibatnya tidak bisa
ditanggung dan ditanggulangi oleh pasar. Apa yang terjadi di Argentina beberapa
tahun lalu telah memberikan sinyal tanda bahaya tersebut. Ketidakmampuan daya
beli masyarakat akibat kenaikan harga dalam pasar muncul dalam era SBY-JK, dan
cara yang diambil rezim SBY-JK adalah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai
(BLT), sebagai cara agar masyarakat dapat mengkonsumsi barang. Tindakan ini
tentu saja konyol dan berbahaya, karena negara pasti sulit untuk terus-menerus
menyediakan uang tunai demi menjaga tingkat konsumsi masyarakat miskin, namun
sistem pasar juga tidak memungkinkan negara untuk melakukan intervensi terhadap
harga secara signifikan, sehingga harga barang menjadi terjangkau. Di titik
ini, maka diperlukan fungsi negara sosial, baik dalam hal menyediakan barang
publik maupun mengontrol harga, agar kebutuhan masyarakat secara luas dapat
dicukupi.
Dalam melihat krisis global —
yang akibatnya juga menghantam Indonesia — terutama di masa pemerintahan
SBY-JK, menjadi penting untuk menoleh pada kritik kalangan Marxian terhadap
kapitalisme global. Alex Callinicos memandang bahwa kritik ekonomi-politik Marx
perlu untuk dilanjutkan sambil sekaligus dipertanyakan secara kritis, karena
relevansi kritik Marx bisa dilihat pada munculnya berbagai krisis ekonomi
dunia, terutama semenjak fundamentalisme pasar dipaksakan berlaku secara
mondial.
Pada bagian lain, Gerald A. Cohen melihat
bahwa dalam bisnis, seseorang memberlakukan orang lain berdasarkan tata-aturan
atau norma yang berlaku dalam pasar, yakni norma yang menyebutkan bahwa
seseorang bisa diberhentikan jika ia tidak bisa memproduksi barang pada suatu
ukuran yang memuaskan keinginan pasar. Artinya, norma ini memang berhasil dalam
hal mempromosikan “efisiensi”, namun pada saat yang sama norma itu merampas
kemanusiaan.
Artinya, perilaku
seperti ini tidak bisa diterapkan kepada negara yang harus memberlakukan semua
warganya secara sama.
Dalam hal ini negara
bisa memiliki otonomi relatif, artinya bukan semata-mata sebagai penjaga
mekanisme pasar, melainkan secara relatif bisa mengintervensi pasar sekiranya muncul
ancaman sosial dari terjadinya disekuilibrium pasar, dan tidak mengintervensi
pasar secara berlebihan, atau secara total. Namun otonomi-relatif di sini bukan
dalam artian yang banyak terjadi pada negara-negara otoriter, melainkan
otonomi-relatif yang berpijak pada nilai demokrasi. Otonomi-relatif negara
diterapkan untuk mendukung fungsi sosialnya dalam menjaga integrasi sosial dan
keberlangsungan kehidupan sosial dan ekonomi dari setiap warganegara. (sumber kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar